NGAWI, SMNNews.co.id – Kemelut soal tidak adanya black list atas pemutusan kontrak yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) pada proyek rehab saluran Jl. Panjaitan, turut dipertanyakan Komisi IV DPRD Ngawi, dalam dengar pendapat Rabu (21/01/2020).
Ketua Komisi IV DPRD Ngawi, Slamet Riyanto, menyatakan, rehab Jl. Panjaitan yang diputus kontrak tanpa permintaan masuk ke daftar hitam bagi pelaksananya, menjadi sorotan berbagai media dan masyarakat.
“Ini kan menjadi aneh bagi masyarakat, sebenarnya ada apa sudah tidak mampu menyelesaikan proyek, diputus kontrak, kok tidak diajukan masuk daftar hitam,” ungkapnya.
Dwi Miyanto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek rehab saluran Jl Panjaitan tersebut menyatakan, rehab saluran di Jl Panjaitan merupakan proyek tahun 2018. Saat itu sudah diberikan uang muka penggarapan proyek sebesar Rp 20 persen dari nilai total Rp 2,4 M.
“Namun sampai Desember 2018 ternyata belum selesai, saat itu pelaksana masih sanggup mengerjakan sehingga kami beri perpanjangan waktu pekerjaan sampai 50 hari, melompati tahun namun dengan pemberlakukan denda keterlambatan,” ungkap Dwi.
Saat memberikan waktu perpanjangan ini, pekerjaan tersebut dinilai sekitar 60 persen sudah selesai. DPUPR kemudian memberikan lagi tambahan dana 30 persen dari nilai lelang. Dengan demikian, dana yang sudah digelontorkan untuk proyek yang dilaksanakan PT Tujuh Sembilan Sembilan ini pun totalnya mencapai 50 persen atau setara Rp 1,2 M.
Namun usai diberikan dana tambahan, ternyata proyek tak juga selesai. Pada 14 Februari 2019, Dwi Miyanto mengakui melakukan putus kontrak denga PT Tujuh Sembilan Sembilan. “Saat itu, klaim mereka sudah mendatangkan semua kebutuhan u ditch dan melakukan pekerjaan 97 persen,” ungkap Dwi.
Pihak DPUPR sendiri sudah mncairkan jaminan pelaksanaan sekitar Rp 240 juta namun tidak dapat memperhitungkan lainnya. Black listi tidak dilakukan karena Dwi mengaku sudah menyurati Inspektorat untuk mendapatkan pijakan melakukannya.
Bantahan Inspektorat tidak pernah menerima permintaan black list pada PT Tujuh Sembilan Sembilan dari DPUPR, menurut Dwi tidak benar. “Kami mengirim surat tembusan ke Inspekorat, saat itu bermaksud agar Inspektorat atau APIP turun memeriksa sejak perencanaan, proses pengadaan, pelaksanaan maupun pengawasannya,” ujarnya.
Walau ada yang menyebutkan aturan bahwa dalam tempo 10 hari Inspektorat tidak memberikan rekom atau jawaban, PPK boleh mengajukan ke daftar hitam, namun tampaknya tak demikian dengan Dwi Miyanto. Dia bersikukuh bahwa baru bisa melangkah saat ada rekomendasi dari Inspektorat.
Saat terjadi putus kontrak, diakui oleh Dwi, pelaksana mengklaim telah menunaikan kewajiban mereka hingga 97 persen. “Hal itu kalau dihitung dari ketersediaan u ditch. Namun belum melaksanakan penghitungan secara kualitasnya, keputusan seberapakah yang bisa diperhitungkan kan nanti saat mau diblack list,” katanya.
Proyek Jl Panjaitan ini sendiri menjadi sorotan karena walau sudah diputus kontrak sepihak oleh pemerintah, namun tak kunjung diikuti pengajuan pelaksananya ke daftar hitam. Dwi Miyanto sendiri mengakui setelah setahun tanpa sanksi, tampaknya akan semakin sulit memasukkan nama pelaksana ini dalam daftar black list.
Pada tahun 2018, ada tiga proyek di Ngawi yang diputus kontrak yakni pavingisasi di Gg. Cermai, Desa Gentong, Kecamatan Paron, proyek saluran Jl Panjaitan dan pembangunan Taman Dungus tahap I. Hanya pada pelaksana rehab saluran JL Panjaitan saja yang tidak disertai pengajuan memasukkan ke daftar hitam oleh DPUPR.
Sampai kini, proyek tersebut mangkrak, tidak terurus dan u ditch serta paving trotoarnya berserakan, menjadikan pandangan kurang sedap di Jl Panjaitan. DPUPR tengah melaksanakan lagi pembangunannya yang dirancang tahun ini. (ari)